Tidak punya identitas diri yang kuat
Mental anak sangat lemah hingga ia sering bingung dengan dirinya sendiri. Ia merasa bahwa hidupnya berbeda dengan hidup orang lain.
Karena itulah, ia jadi lebih mudah untuk mengalami depresi, krisis identitas, merasa tak ada harganya, dan merasa di dunia ini tak ada orang yang menyayanginya.
Kurang menghargai diri sendiri
Sikap orangtua yang sering merusak anak adalah saat mereka tak menghargai anak. Misal, orangtua menaruh ekspektasi tinggi terhadap anaknya dan tak mengapresiasi anak.
Akhirnya, anak merasa tidak menghargai dirinya juga. Kurang pujian dari orangtuanya membuat ia merasa bahwa dirinya tak cukup baik di mata siapa pun.
Artikel terkait: 21 pola asuh yang perlu Anda ketahui.
Takut menikah maupun menjalin hubungan dengan orang lain
Ide tentang berkeluarga bisa jadi momok tersendiri buat anak karena ia hidup bersama keluarga yang tak bahagia. Akibatnya, ia sendiri ragu bahwa ia akan bisa membentuk keluarga yang bahagia nantinya.
Beberapa orang mengalami masa kecil hingga remaja yang tak membahagiakan karena tinggal di keluarga berantakan. Keluarga berantakan ini bagaikan racun yang harus “ditelan” oleh anak-anak.
Saat anak sudah dewasa, ia akan memiliki beberapa masalah psikologis. Beberapa masalah tersebut biasanya akan berdampak pada pendidikan, pekerjaan, hubungan dengan pasangan, dan hubungan sosial pada umumnya.
Anak dari keluarga berantakan akan lebih posesif dalam pertemanan maupun dalam hubungan percintaan. Secara emosional anak lebih ‘haus kasih sayang’ dari anak lainnya.
Ia takut jika ia tidak ‘menahan’ orang-orang terdekatnya, maka mereka akan pergi seperti orangtuanya. Ia juga punya rasa cemburu berlebih pada orang lain yang berada di sekitarnya.
Kurang bisa mengekspresikan perasaan
Kesulitan mengekspresikan perasaan biasanya dimulai dari orangtua yang suka melarang anaknya melakukan banyak hal. Akhirnya anak jadi sering menahan perasaannya agar dapat menjaga perasaan orang lain.
Padahal tindakan itu tidak perlu ia lakukan karena hanya akan membuat dirinya terkekang secara emosional.
Selalu takut dibohongi
Ia punya ketakutan yang berlebihan tentang kebohongan. Ia melihat bagaimana ayahnya memanipulasi sang bunda atau sebaliknya sehingga ia menganggap bahwa orang lain pasti melakukan hal yang sama.
Seperti apa keluarga berantakan itu?
Berikut sikap orangtua yang membuat anak merasa ada dalam keluarga berantakan menurut penelitian dari Brown University:
Jika anak-anak Anda masih kecil, ada baiknya untuk menghindari sifat-sifat di atas. Jika dulunya Anda berasal dari keluarga berantakan, sekarang saat yang tepat untuk tidak mengulang siklus yang sama.
10 Cara Agar Anak tak jadi Pribadi yang Membenci Orangtuanya Sendiri
Parenting bikin pusing? Yuk tanya langsung dan dapatkan jawabannya dari sesama Parents dan juga expert di app theAsianparent! Tersedia di iOS dan Android.
TRIBUNJATENG.COM, SALATIGA - Kisah Gatot warga Salatiga yang hidupnya berantakan karena judi slot bisa jadi pembelajaran.
Gatot (nama samaran) tak hanya terpuruk secara ekonomi gara-gara judi online dan slot.
Bahkan, rumah tangganya sempat terancam bubar.
Pria beranak dua ini kecanduan judi online hingga hartanya tak tersisa.
Baca juga: Mario Suryo Aji Akan Promosi ke Moto2, Tim Honda Asia Wajibkan 2 Syarat yang Harus Dipenuhi
Baca juga: Netralitas ASN Jelang Pemilu Jadi Sorotan Pj Gubernur Jateng, Kalau Melanggar Bisa Diberhentikan
Baca juga: Batas Pelunasan Agustus, 15 Kecamatan di Blora Belum Lunas PBB-P2
Pekerjaannya pun hilang, kemudian dia menjadi driver ojek online dan saat ini mulai menata hidup dengan menjadi sopir.
Gatot mengatakan awalnya dia bermain judi online hanya iseng.
"Awalnya itu tahun 2021-an, main hanya kadang-kadang, iseng ngisi waktu, main QiuQiu dan Poker," ucapnya, Jumat (13/10/2023) saat ditemui.
"Biasa main setelah terima uang gaji, depo Rp 200.000, kalau kalah ya istirahat, tidak main."
"Tapi kalau ada uang, main lagi, hanya sporadis," kata Gatot.
Kemudian saat 2022 heboh game slot, dia semakin rutin bermain.
Game pertama yang dimainkannya karena suka, Gates of Olympus.
"Tertarik karena banyak teman yang main terus dapat cuan. Kepingin ikut dapat cuan juga dong," kata Gatot sembari tertawa.
"Iming-imingnya, kalau maxwin 5.000 x Bet, jadi Bet Rp 1.000 kalau menang bisa mendapat Rp 5 juta. Menggiurkan, karena hitungannya banyak," kata Gatot.
Dia menjelaskan cara mainnya.
Awal depo antara Rp 25.000 hingga Rp 100.000, taruhan Rp 200 hingga Rp 400.
"Selanjutnya tinggal memencet tombol aplikasi atau kadang beli scatter yang pengkalinya banyak," terangnya.
Scatter itu, kata Gatot, harganya 100 kali taruhan dan dapatnya 15 kali putaran.
"Ada pengkali yang dua kali sampai 500 kali, beda game beda scatter lagi," papar Gatot.
Seiring berjalan waktu, dia yang awalnya menghabiskan uang antara Rp 50.000 hingga Rp 100.000 untuk judi, mulai tak terkontrol.
"Meningkat, jadi minimal Rp 500.000 sampai Rp 1 juta, itu per hari" kata dia.
Di sinilah awal kehancuran karena pengeluarannya semakin banyak. Dia mulai terjerat utang.
"Pinjam uang ke teman hingga ke pinjaman online saya lakukan, hampir semua aplikasi judi online saya ajukan pinjaman," ujar Gatot.
Tak hanya itu, dia pun mulai menjual barang-barang di rumah.
"Motor, televisi, ponsel, pokoknya yang bisa laku ya dijual. Janji bayar utang selalu meleset, karena tidak ada uang."
"Rencana mengumpulkan uang untuk tabungan kuliah, juga habis," terangnya.
Istrinya pun mulai sering marah-marah karena tidak mendapat uang jatah belanja.
"Istilahnya sudah habis-habisan, bahkan untuk beli rokok tidak mampu. Sekarang belinya rokok yang murah, yang merknya aneh-aneh itu," kata Gatot.
Dia mulai tersadar karena merasa hidupnya mulai tak nyaman.
"Banyak yang menagih utang, rumah juga isinya uring-uringan. Mulai Juli tahun ini, saya tak lagi mau bermain, mau fokus memerbaiki hidup," tegasnya.
"Kalau waktu kosong, dulu selalu main judi online. Sekarang mending untuk bekerja serius, kembali menata keuangan dan kondisi rumah, itu lebih penting," ungkapnya.
Menurut Gatot, bermain judi online tak ada menangnya.
"Memang bisa mendapat uang, tapi pasti balik ke situ lagi, dan akhirnya kalah. Kalahnya juga pasti lebih banyak daripada menangnya, jadi tetap saja rugi," terangnya.
Dia pun mengajak para pemain judi online untuk berhenti dan fokus untuk hal yang lebih baik.
"Kalau yang masih sekolah atau kuliah, belajar yang baik. Sementara yang kerja, uangnya digunakan untuk yang bermanfaat, untuk keluarga," kata Gatot.
Terpisah, Kasi Humas Polres Salatiga Iptu Henri Widyoriani mengatakan sampai saat ini belum ada laporan terkait kasus judi online.
"Kalau ada laporan, kami dari kepolisian siap menindaklanjuti," jelasnya.
Henri mengimbau masyarakat untuk menjauhi segala bentuk perjudian, baik yang online maupun judi konvensional.
"Jauhi segala akses yang berkaitan dengan judi online, pakai internet dengan bijak dan positif," terangnya.
"Perbanyak waktu untuk kegiatan yang bermanfaat, pahami risiko judi, baik online maupun konvensional, ingat ancaman pidana menanti," tegas Henri. (*)
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Pria Salatiga Kecanduan Judi Online, Terjerat Pinjol, Hidup Tak Lagi Nyaman "
Sulit percaya pada orang lain
Penelitian dari Universitas Brown tentang ikatan anak dengan orangtuanya mengungkapkan fakta bahwa sering dibohongi oleh anggota keluarganya sendiri membuat anak sulit percaya pada orang lain. Sekalipun pasangannya adalah orang yang jujur, ia akan selalu merasa bahwa ia sedang dibohongi.
Perasaan sulit menaruh kepercayaan pada orang lain ini sering menyebabkan ia mudah frustasi. Ia pun jadi sosok yang sering berkecil hati ketika berurusan secara pribadi dengan orang lain.