Pecahnya Perang Makassar
Dalam upayanya melawan Belanda, Sultan Hasanuddin harus memperluas wilayah kekuasaannya. Pada Februari 1660, Sultan Hasanuddin memanggil Tobala Arung Tanette. Ia meminta Arung Tanette untuk memimpin orang Bone untuk memperkuat pertahanan Makassar dalam melawan Belanda.
Tobala Arung Tanette menyatakan bahwa dirinya selaku pemimpin orang Bugis Bone siap berperang bersama Sultan Hasanuddin melawan Belanda. Hal ini demi menjaga harga diri dan martabat orang Bugis Bone.
Selanjutnya, Tobala memimpin orang Bugis Bone untuk pergi menjaga wilayah yang terletak di bagian belakang Makassar. Tobala juga melaporkan setiap usaha Belanda yang ingin membujuk orang Bugis untuk melawan Makassar.
Singkat cerita, Tobala Arung Tanette membawa orang Bone yang berjumlah sekitar 10.000 berjalan melintasi gunung-gunung tinggi menuju Makassar. Sampai di Makassar, mereka dibagi kelompok dan ditugaskan untuk menggali parti di sepanjang garis pertahanan di pantai pelabuhan Makassar. Mulai dari benteng paling selatan Barombong sampai benteng paling utara Ujung Tana.
Proses penggalian parit ini dilakukan secara paksa. Orang Bone dipaksa bekerja siang malam untuk menggali parit. Perlakuan ini membuat Arung Palakka, pimpinan Kerajaan Bone marah dan tergerak untuk memberontak.
Dari sini, Belanda mulai merasa ada percikan konflik internal terjadi antara Kerajaan Gowa dan Kerajaan Bone. Tanpa menunggu lama, Belanda memanfaatkan celah ini. Long story short, akhirnya Kerajaan Bone yang awalnya berada di bawah kekuasaan Kerajaan Gowa berhasil dihasut oleh Belanda untuk membantu VOC.
Perang Makassar berlangsung dari 1666-1669. Dalam perang ini, Belanda dibantu oleh Kerajaan Bone untuk melawan kerajaan yang dipimpin Sultan Hasanuddin.
Dalam pemberontakan ini, Arung Palakka yang dikejar oleh pasukan Gowa berhasil melarikan diri dengan berlayar ke Buton dan meminta bantuan ke Batavia. Pada 31 Desember 1666, VOC di bawah pimpinan Laksamana Cornelis Janzoon Speelman pergi ke Buton. Ternyata, Kerajaan Buton sedang dikepung oleh pasukan Kerajaan Gowa. Hal ini tentu terjadi karena Sultan Buton dianggap memberi perlindungan terhadap Arung Palakka dan sekutunya.
Saat itu, pasukan Gowa yang berjumlah kurang lebih 15.000 orang sedang mengepung Kerajaan Buton. Mereka terdiri dari orang Makassar, Bugis, dan Mandar. Nah, jadi sebenarnya pasukan ini orang-orangnya berasal dari daerah jajahan Kerajaan Gowa, guys.
Ketika orang-orang Bugis mendengar Arung Palakka datang, mereka yang jumlahnya ribuan itu menganggap bahwa akan dibebaskan. Jadi, mereka justru menyerang Kerajaan Gowa. Pecah deh perang internal disitu.
Pasukan Kerajaan Gowa pun kacau balau. Selain itu, orang-orang Mandar juga tidak merasa berkewajiban untuk membela Kerajaan Gowa melawan orang-orang Bugis tadi.
Keadaan ini tentu membuat Kerajaan Gowa mudah sekali untuk dilumpuhkan dari pihak luar a.k.a Belanda. Jadi, sebenarnya kekalahan Gowa itu tidak sepenuhkan karena Belanda, tapi karena konflik internal tadi.
Bahkan Kerajaan Gowa tidak hanya melawan Kerajaan Bone saja, tapi juga sekutu dari Bone. Misalnya Mandarsyah atau Raja Ternate, Kapten Jonker dari Ambon, dan Buton.
Perang-perang ini pun membuat kekuasaan Gowa terus berkurang. Pada 26 Oktober 1667, Belanda dan sekutunya sampai ke Benteng Somba Opu atau kediaman Sultan Hasanuddin.
Baca Juga: Kerajaan-Kerajaan Maritim Islam di Nusantara
Actions (login required)
Yuk, beri rating untuk berterima kasih pada penjawab soal!
Sultan Hasanuddin adalah seorang pahlawan nasional yang dikenal dengan julukan Ayam Jantan dari Timur. Kok bisa? Yuk simak kisah perjuangannya sebagai Pemimpin Kerajaan Gowa melawan Belanda!
Siapakah pahlawan dari Makassar yang mendapat julukan Ayam Jantan dari Timur? Yap! Jawabannya adalah Sultan Hasanuddin. Dalam pelajaran Sejarah di sekolah pasti kita sudah tidak asing dengan julukan tersebut yah! Tapi, kamu tau nggak sih, kenapa Sultan Hasanuddin mendapatkan julukan Ayam Jantan dari Timur?
Jadi, Sultan Hasanuddin berasal dari Gowa, Makassar, Sulawesi Selatan dan dikenal sangat gigih dalam mengusir penjajah. Atas kegigihannya ini, Belanda memberikan julukan kepadanya Haantjes van Het Oosten atau Ayam Jantan dari Timur.
Nah, dalam artikel ini, kita akan menyimak kisah hidup Sultan Hasanuddin dan masa perjuangannya melawan penjajah. Yuk simak!
Masa Pemerintahan Sultan Hasanuddin
Kerajaan Gowa terletak di ujung selatan Pulau Sulawesi dengan ibukota Somba Opu yang berada di pantai Selat Makassar. Di bawah kepemimpinan Sultan Hasanuddin, Kerajaan Gowa berada pada masa kejayaannya.
Kerajaan tersebut menjadi pusat perdagangan terbesar di Indonesia bagian timur. Kerajaan Gowa menjadi penghubung wilayah barat seperti Pulau Jawa, Kalimantan, Sumatera, dan Semenanjung Malaka, dengan wilayah timur seperti Kepulauan Maluku dan Nusa Tenggara.
Di bawah kepemimpinan Sultan Hasanuddin juga, Kerajaan Gowa berhasil memperluas wilayah kekuasaannya hingga Ternate dan Sumbawa. Hal ini tentu membuat Belanda tidak senang dengan keberadaan Kerajaan Gowa, terutama Sultan Hasanuddin. Menurut Belanda, kebijakan perdagangan yang diterapkan oleh Kerajaan Gowa tidak sesuai dengan VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie).
Jadi, waktu itu VOC sudah melakukan praktik monopoli perdagangan rempah-rempah. Upaya VOC untuk memonopoli perdagangan di daerah Indonesia Timur ini membuat Sultan Hasanuddin geram dan melakukan perlawanan.
Lahirnya Perjanjian Bongaya
Keadaan tersebut membuat Sultan Hasanuddin terdesak. Mau tidak mau, pemimpin Kerajaan Gowa tersebut harus menandatangani perjanjian yang disebut dengan Perjanjian Bongaya yang berlangsung pada 18 November 1667 di Bungaya.
Secara garis besar, isi Perjanjian Bongaya seperti berikut:
Karena tidak punya pilihan, Sultan Hasanuddin harus menyetujuinya walaupun perjanjian ini merugikan Kerajaan Gowa.
Pada tahun 1669, Sultan Hasanuddin kembali melakukan perlawanan terhadap Belanda. Dalam perlawanan ini, Belanda berhasil menguasai benteng terkuat Kerajaan Gowa, yaitu Benteng Somba Opu. Akhirnya, Kerajaan Gowa yang dipimpin Sultan Hasanuddin harus kembali tunduk pada Belanda. Kegigihan Sultan Hasanuddin yang tidak pantang menyerah ini dijuluki sebagai De Haantjes van Het Ooston oleh Belanda yang berarti Ayam Jantan dari Timur.
Murniah, Dad (2010) Ayam Jantan Dari Timur. Pusat Bahasa, Jakarta. ISBN 978-979-069-045-5
Actions (login required)
Murniah, Dad and Untoro, Setyo (2016) Ayam Jantan dari Timur. Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Jakarta. ISBN 978-979-069-008-0
Pecahnya Perang Makassar
Dalam upayanya melawan Belanda, Sultan Hasanuddin harus memperluas wilayah kekuasaannya. Pada Februari 1660, Sultan Hasanuddin memanggil Tobala Arung Tanette. Ia meminta Arung Tanette untuk memimpin orang Bone untuk memperkuat pertahanan Makassar dalam melawan Belanda.
Tobala Arung Tanette menyatakan bahwa dirinya selaku pemimpin orang Bugis Bone siap berperang bersama Sultan Hasanuddin melawan Belanda. Hal ini demi menjaga harga diri dan martabat orang Bugis Bone.
Selanjutnya, Tobala memimpin orang Bugis Bone untuk pergi menjaga wilayah yang terletak di bagian belakang Makassar. Tobala juga melaporkan setiap usaha Belanda yang ingin membujuk orang Bugis untuk melawan Makassar.
Singkat cerita, Tobala Arung Tanette membawa orang Bone yang berjumlah sekitar 10.000 berjalan melintasi gunung-gunung tinggi menuju Makassar. Sampai di Makassar, mereka dibagi kelompok dan ditugaskan untuk menggali parti di sepanjang garis pertahanan di pantai pelabuhan Makassar.
Mulai dari benteng paling selatan Barombong sampai benteng paling utara Ujung Tana. Proses penggalian parit ini dilakukan secara paksa.
Orang Bone dipaksa bekerja siang malam untuk menggali parit. Perlakuan ini membuat Arung Palakka, pimpinan Kerajaan Bone marah dan tergerak untuk memberontak. Dari sini, Belanda mulai merasa ada percikan konflik internal terjadi antara Kerajaan Gowa dan Kerajaan Bone.
Tanpa menunggu lama, Belanda memanfaatkan celah ini. Long story short, akhirnya Kerajaan Bone yang awalnya berada di bawah kekuasaan Kerajaan Gowa berhasil dihasut oleh Belanda untuk membantu VOC.
Perang Makassar berlangsung dari 1666-1669. Dalam perang ini, Belanda dibantu oleh Kerajaan Bone untuk melawan kerajaan yang dipimpin Sultan Hasanuddin.
Lahirnya Perjanjian Bongaya
Keadaan tersebut membuat Sultan Hasanuddin terdesak. Mau tidak mau, pemimpin Kerajaan Gowa tersebut harus menandatangani perjanjian yang disebut dengan Perjanjian Bongaya yang berlangsung pada 18 November 1667 di Bungaya.
Secara garis besar, isi Perjanjian Bongaya seperti berikut:
Karena tidak punya pilihan, Sultan Hasanuddin harus menyetujuinya walaupun perjanjian ini merugikan Kerajaan Gowa. Pada tahun 1669, Sultan Hasanuddin kembali melakukan perlawanan terhadap Belanda.
Dalam perlawanan ini, Belanda berhasil menguasai benteng terkuat Kerajaan Gowa, yaitu Benteng Somba Opu. Akhirnya, Kerajaan Gowa yang dipimpin Sultan Hasanuddin harus kembali tunduk pada Belanda. Kegigihan Sultan Hasanuddin yang tidak pantang menyerah ini dijuluki sebagai De Haantjes van Het Ooston oleh Belanda yang berarti Ayam Jantan dari Timur.
Perjalanan Menjadi Sultan
Saat Hasanuddin berusia 21 tahun, ia menduduki posisi jabatan urusan pertahanan Gowa, loh! Pendidikan pemerintahan ia dapatkan dari sang ayah dan Karaeng Pattingaloang yang merupakan Mangkubumi Kesultanan Gowa.
Ayahnya, Sultan Muhammad Said turun tahta pada 1653 dan mewasiatkan agar kerajaan Gowa kepemimpinannya dilanjutkan oleh Hasanuddin.
Sultan Muhammad Said menghembuskan nafas terakhirnya saat Hasanuddin menginjak usia 22 tahun. Dengan begitu, Sultan Hasanuddin naik tahta sebagai Raja Gowa ke-16.
Terlepas dari kedua versi tersebut, ada yang menarik, nih, dari pengangkatan Sultan Hasanuddin menjadi Raja Gowa. Sebenarnya, apabila dilihat dari adat kebiasaan, Hasanuddin tidak berhak untuk menduduki tahta sebagai raja.
Pasalnya, saat ia lahir, sang ayah belum menjadi raja, guys! Tapi, putra mahkota saat itu, Daeng Matawang beserta para bangsawan lainnya setuju dengan diangkatnya Sultan Hasanuddin jadi raja.
Perjalanan Menjadi Sultan
Saat Hasanuddin berusia 21 tahun, ia menduduki posisi jabatan urusan pertahanan Gowa, loh! Pendidikan pemerintahan ia dapatkan dari sang ayah dan Karaeng Pattingaloang yang merupakan Mangkubumi Kesultanan Gowa.
Ayahnya, Sultan Muhammad Said turun tahta pada 1653 dan mewasiatkan agar kerajaan Gowa kepemimpinannya dilanjutkan oleh Hasanuddin. Sultan Muhammad Said menghembuskan nafas terakhirnya saat Hasanuddin menginjak usia 22 tahun. Dengan begitu, Sultan Hasanuddin naik tahta sebagai Raja Gowa ke-16.
Terlepas dari kedua versi tersebut, ada yang menarik dari pengangkatan Sultan Hasanuddin menjadi Raja Gowa. Sebenarnya, apabila dilihat dari adat kebiasaan, Hasanuddin tidak berhak untuk menduduki tahta sebagai raja.
Pasalnya, saat ia lahir, sang ayah belum menjadi raja, guys! Tapi, putra mahkota saat itu, Daeng Matawang beserta para bangsawan lainnya setuju dengan diangkatnya Sultan Hasanuddin jadi raja.